Film 'Kiblat' Panen Kritik, Ustadz Yandi Sebut Pengalihan Isu Politik Semata

- 26 Maret 2024, 11:30 WIB
Ustadz Yandi ST
Ustadz Yandi ST /Medan Pikiran Rakyat/ dok /

 

MEDANSATU.ID-Film "Kiblat" menghadapi banyak kritik sejak dirilis. Kendati permintaan sudah dilayangkan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar menarik film ini dari peredaran, banyak masyarakat yang masih berminat untuk membahas dan menontonnya.

Beberapa kritik yang dilontarkan ke film ini meliputi dugaan eksploitasi agama. Meski demikian, ada juga yang meyakini bahwa film ini dapat menepis isu politik yang sedang hangat saat ini. Namun, benarkah begitu?

Sehubungan dengan pemikirannya, Ustadz Yandi ST, seorang tokoh di Kota Medan, Sumatera Utara, berpendapat bahwa film ini sebaiknya tidak ditayangkan karena arah kiblat sangat sakral bagi umat Islam, yang digunakan sebagai penunjuk arah saat sholat.

Dia khawatir jika film ini ditayangkan, dapat menimbulkan kontroversi yang lebih besar dan bahkan dapat memperkeruh suasana di masyarakat.

Baca Juga: MUI Minta Film 'Kiblat' Ditarik dari Bioskop, Apa Alasannya?

Dalam pandangannya, 80 persen penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga pemilihan batasan sangat penting untuk menjaga hubungan sosial dalam masyarakat.

Film 'Kiblat' Jangan Ditayangkan 

Film
Film

Menurut Ustadz Yandi, film Kiblat seharusnya tidak ditayangkan karena arah kiblat sangat sakral bagi umat Islam, yang digunakan sebagai penunjuk arah saat sholat.

Karenanya, harus mempertimbangkan faktor risiko dengan matang sebelum menayangkan film tersebut ke masyarakat.

Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ervan Ismail menjelaskan bahwa pemahaman masyarakat tentang batasan dalam film yang berpotensi menjadi polemik semakin berkembang.

Film yang mempermasalahkan tata cara beribadah dan dianggap menakutkan saat beribadah, seperti pada film Kiblat, justru semakin mempertajam batasan kesalahan dalam pembuatan film.

Baca Juga: Film Indonesia Kiblat Masih Menjadi Kontroversial

Beberapa penonton khawatir dan meminta agar produser dan sutradara film itu memperhatikan batasan dalam memproduksi film.

Kendati ada beberapa orang yang penasaran dan tetap memilih menonton film tersebut, masyarakat menyadari bahwa kebebasan berekspresi seni harus dilakukan dengan cara yang tidak merugikan kelompok atau agama tertentu.

MUI sekarang meminta agar poster dan trailer film Kiblat dihapus sebagai respon atas kontroversi yang terus berkembang seputar film ini.

Meski film Kiblat masih menarik perhatian masyarakat, pada akhirnya dibutuhkan batasan dalam memproduksi film, khususnya yang berkaitan dengan agama atau keyakinan.

Di samping itu, dalam membuat sebuah film, perhatikan batasan-batasan yang ada dan memilih bahasa yang tepat untuk menciptakan konten yang dapat diterima oleh semua kalangan.***

 

Editor: Dedi Suang MS


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x