Terjadi Lagi Pimpinan Pondok Pesantren Cabuli Lebih 15 Santri, Kemenag akan Cabut Izin Pesantren Al-Minhaj

13 April 2023, 03:47 WIB
Terjadi Lagi Pimpinan Pondok Pesantren Cabuli Lebih 15 Santri, Kemenag akan Cabut Izin Pesantren Al-Minhaj. /Kemenag/Medan Satu

MEDANSATU.ID - Lagi-lagi terjadi praktik dugaan pencabulan terhadap santri wati yang dilakukan pimpinan pondok pesantren. Wildan Mashuri terhadap 15 santrinya, di Kabupaten Batang, Jawa Tengah dalam rentang waktu beberapa tahun. Wildan kini sudah diamankan polisi. Sedangkan Kemenag akan mencabut izin Ponpesnya.

"Kami mendukung penuh penegakan hukum yang dilakukan. Setiap tindak pidana, siapa pun pelakunya, serta kapan dan di manapun kejadiannya, harus ditindak tegas,” ujar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur di Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Oleh sebab itu, kata Gofur, izin Pesantren Al-Minhaj akan dicabut. Perbuatan pimpinan Ponpes tersebut merupakan tindakan kriminal yang harus ditindak secara hukum sebab menyebabkan dampak luar biasa bagi korban.

"Kita juga melakukan pendampingan terhadap para santri, untuk memastikan mereka dapat melanjutkan pendidikannya. Sebab, meski izin pesantrennya dicabut, hak pendidikan para santri harus dilindungi, " ujarnya.

Baca Juga: 43 Pelajar Dijaring saat Aksi Corat-coret Baju Perpisahan, Ditemukan Kelewang dan Botol Kaca

Pihaknya juga akan memberikan perhatian penuh atas kelanjutan pendidikan para santri. Sebab para santri harus terus belajar. Pihak sudah berkoordinasi dengan Kanwil Kenenag Jawa Tengah dan sejumlah Pesantren lainnya.

"Kementerian Agama juga bersinergi dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya dalam penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan pihak kepolisian, " ujarnya.

Menurutnya, Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan. Sebab proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak stakeholders.

"Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa?" sambungnya.

Baca Juga: Bobby Afif Nasution Bangun Islam, dari Islamic Centre hingga Koperasi Masjid plus Dana Rp50 juta per Masjid

Ini semua lanjut dia harus dipikirkan matang-matang. Pihaknya mengaku tidak bisa hanya menyelesaikan sampai pada pelakunya saja. Namun harus juga dipikirkan nasib korbannya seperti apa. Ini perlu melibatkan Dinas Sosial.

"Kementerian Agama juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif agar peristiwa yang sama tidak terulang, " tambahnya.

Upaya tersebut kata dia lagi, antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak. Pihaknya mempunyai buku panduan pesantren ramah anak. Ini perlu disosialisasikan.

"Kemenag, juga terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustaz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri, " terangnya.

Baca Juga: KPK OTT Oknum Pejabat Wilayah Balai Perkeretaapian Terkait Dugaan Kasus Korupsi

Artinya, lanjut dia, santri harus mendapatkan perlindungan dan pembelajaran. Jika sakit, harus diobati. Santri tidak boleh mendapatkan kekerasan. Ini yang terus dikomunikasikan dan disosialisasikan pihaknya.

"Proses sosialisasi ini terus berjalan secara bertahap. Sebab, jumlah pesantren memang sangat banyak, lebih 37 ribu yang terdaftar di Kemenag, " sambungnya.

Sosialisasi disampaikan kepada para Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kanwil Kemenag Provinsi yang bertugas dalam pembinaan pesantren.

"Sosialisasi juga diberikan kepada perwakilan pesantren, baik melalui forum dalam jaringan (daring) atau luar jaringan (luring), " tambahnya.

Baca Juga: Agar Terhindar Dari Kebakaran Saat Rumah Ditinggal Mudik Lebaran, Cek Imbauan PLN Berikut Ini

Dia juga menyampaikan bahwa pengasuh pesantren harus membaca regulasi terkait perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, dia menyebutnya regulasi itu sebagai "kitab kuning baru".

"UU perlindungan anak dan perempuan agar menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Jadi, menurutnya, pesantren tidak hanya membaca kitab kuning (keagamaan) ansich, tapi juga kitab kuning dalam bentuk regulasi yang berlaku di Indonesia.

"Kemenag sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama, " sebutnya.

Baca Juga: Gerhana Hibrida Terjadi Tanggal 20 April 2023, Berlangsung Selama 3 jam 5 menit, Dilihat dari Pulau Biak

Regulasi ini antara lain mengatur masalah pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini kata dia, mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

"Terkait penanganan, regulasi ini mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis, " jelasnya.

Hal ini lanjutnya, diatur juga sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban. Para korban harus diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan.

"Terkait pelaku kekerasan seksual, regulasi mengatur tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku diserahkan ke penegak hukum. Kalau administratif bisa berupa pemecatan,” kata Waryono.

Baca Juga: Raih Lailatul Qodar dengan Banyak Iktikaf di Masjid, Bukan Iktikaf di Mall untuk Memborong

Regulasi juga mengatur bahwa pelaku harus membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban.

"Sebagai tindak lanjut dari PMA 73 tahun 2022, Kemenag saat ini tengah melakukan finalisasi Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang Panduan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama, " ujarnya.

KMA ini sambungnya, diperlukan sebagai regulasi teknis yang akan mengatur langkah dan upaya pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan binaan Kemenag.

“Kekerasan seksual adalah perbuatan yang bertentangan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Karenanya, praktik kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh terjadi lagi,” tandasnya.***

Editor: Ayub Fahreza

Sumber: kemenag.co.id

Tags

Terkini

Terpopuler