Yang paling menarik adalah rumah-rumah yang sudah ditinggal pemiliknya di kiri-kanan jalan seperti sebuah artefak masa lalu yang tua namun terkesan magis. Sebaiknya memang tidak malam hari ketika sampai di sana.
Baca Juga: Kesenian Digelar di Pinggiran, LKKI: Kota Medan Akan Berkarakter, Pemko Harus Punya Dana Abadi
Beberapa pengunjung tersebut mengaku dimintai uang Rp 10 ribu rupiah oleh Akamsi (anak kampung sini) / orang. Tetapi itu tentu saja bukan tarif resmi melainkan pungli mengingat tidak ada karcis masuk dari pemerintah daerah.
Penulis bahkan tidak dimintai lantaran sewaktu masuk ke lokasi tidak terlihat ada orang yang menjaga tempat masuk ke arah 'Danau Baru' tersebut. Namun ketika hendak pulang dua orang pemuda menanyakan apakah saya sudah membeli karcis. Saya bilang sudah. Padahal belum, hehehe.
Pemandangan di 'Danau Baru' tersebut sungguh sangat indah dan mencengangkan. Hamparan bongkahan batu terbentang luas sepanjang mata memandang. Kemudian ada sungai dangkal sebetis orang dewasa membelah hamparan bongkahan batu tersebut. Mirip sungai - sungai di Sembahe. Namun ini bisa dipastikan tak akan terjadi Bandang.
Menurut Kongsi Bukit warga Kabanjahe, hamparan batu tersebut dulunya adalah sebuah desa. Desa tersebut terletak paling dekat dengan Gunung Sibayak. Kata Kongsi Bukit, desa yang dia lupa namanya itu, tertimbun bebatuan yang bongkahan nya ada sebesar mobil sedan.
Baca Juga: Dunia Serasa Seperti Berputar? Awas, Boleh Jadi Itu Vertigo
Dari desa Suka Meriah lokasi 'Danau Baru' tersebut tinggal menyusuri jalan turunan. Meski daerah tersebut tidak dijaga, namun kata Kongsi Bukit, sebaiknya berhati-hati. Sebab jika Sinabung batuk, lahar dan debunya cepat sekali meluncur dan sulit bagi orang yang sedang di bebatuan itu untuk lari.