Lahirnya Pancasila Di Mata Akademisi, Prof Dr Zulfirman SH MH : Pancasila, Gotong Royong

- 1 Juni 2023, 00:32 WIB
Guru Besar Prof Dr Zul Firman SH MH
Guru Besar Prof Dr Zul Firman SH MH /Medansatu/Dedi/

MEDANSATU.ID - Kampus menjadi tempat yang baik untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila oleh mahasiswa. Aktualitas nilai Pancasila bisa dilakukan dengan cara yang sederhana serta melakukan aktivitas yang rutin dilakukan sehari-hari.

Guru Besar Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UPMI), Prof. Dr. Zul Firman, SH MH menilai, secara historis Pancasila lahir sebagai reaksi keprihatinan terhadap masalah-masalah kemanusiaan akibat penjajahan yang dialami bangsa Indonesia waktu itu.

Pancasila diutarakan oleh Ir. Soekarno pada rapat BPUPK tanggal 1 Juni 1945; kemudian Pancasila secara legal formal disahkan menjadi dasar negara Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah dilakukan penyempurnaan dalam redaksionalnya dan sistimatikanya. Sejak saat itu Pancasila final menjadi dasar negara dan/ atau falsafah hidup bangsa Indonesia dalam mengatasi dan menjalankan urusan kenegaraan dan/ atau bangsa Indonesia.

Kepada Medansatu Pikiran-Rakyat, Akademisi UPMI ini menjabarkan, pembahasan Soekarno tentang Pancasila sebagai dasar negara untuk Indonesia merdeka pada rapat BPUPK tersebut dikaji dari sudut pandang filsafat (filsafat politik). Hal itu dapat diketahui beliau membahas tentang “prinsip” negara Indonesia merdeka.

Baca Juga: Polres Labuhanbatu Amankan Guru Kasek Berbuat Cabul, Selama Dua Tahun Sembilan Pelajar Digilir Memuaskan Nafsu

Berbeda dari anggota BPUPK lainnya membahasnya dari sudut pandang teori politik. Kajian dasar negara dari segi filsafat hasil akhirnya berbeda dari sudut pandang teori politik.

Kajian dari filsafat menemukan asas yang mengandung nilai instrinsik sedangkan kajian dari segi teori politik mengandung nilai intrumen sebagai bahan teknis ( praktis ). Perbedaan kajian itu berpengaruh terhadap fungsi Pancasila.

Dalam kajian filsafat berbicara tentang nilai-nilai instrinsik sebagai bahan evalutif tindakan sedangkan kajian teori politik berbicara tentang nilai instrument sebagai acuan tindakan praktis. Oleh karena itu, suatu keniscayaan bila pada setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila untuk kembali melakukan kajian untuk memperoleh pemahaman yang benar sesuai dengan tujuan asli lahirnya Pancasila.

Dalam perkembangan dinamika kenegaraan dan pemerintahan Indonesia, gotong royong diterapkan sebagai perasan dari Pancasila sebagaimana yang pernah diusulkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Perasan Pancasila sebagai gotong royong kiranya perlu diselidiki secara seksama, apakah dalam penerapannya gotong royong sudah tepat sebagai dasar dan/ atau falsafah bangsa Indonesia?.

Baca Juga: Penyanyi Lagu Melayu Legendaris Nurainun Pertahankan Rumah Panggung, Walau di Zaman Modern

Pertanyaan ini perlu dijawab agar dalam penerapan dasar negara tidak menjadi rancu dalam rangka mengkukuhkan jati diri bangsa Indonesia khususnya terkait mengatasi masalah-masalah pemerintahan negara Indonesia dalam mengelola sumber daya alam dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia dalam merespon perkembangan peradaban dewasa ini. Untuk itulah artikel ini ditulis.


Prinsip Gotong Royong Sebagai Perasan Pancasila

Pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, Ir Soekarno mengusulkan 5 prinsip dasar negara Indonesia merdeka. Usul Soekarno tersebut menjelaskan, beliau membahas dasar negara dari sisi filsafat politik. Hal itu dapat dilihat terhadap 5 dasar negara itu yang diusulkannya itu merupakan prinsip. Dalam kajian filsafat, prinsip itu sama artinya dengan “asas” atau “pemikiran terdalam” tentang kemanusiaan.

Dalam hal ini, Soekarno membahas filsafat politik tentang nilai instrinsik sebagai dasar evaluatif suatu tindakan; kualitasnya sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia orientasinya adalah pada tujuan.

Beda halnya jika lima dasar negara itu dikaji dari teori politik bicara tentang nilai instrumen atau segi praktis menyelenggarakan pemerintahan negara yang orientasinya sebagai alat.

Dalam pengalaman sejarah perpolitikan Indonesia, pernah terjadi lima dasar negara itu diartikan dan diterapkan dari sudut padang teori politik sebagai “alat” mempersatu bangsa. Berdasarkan logika ini lima dasar negara itu dapat diganti apabila bangsa Indonesia telah bersatu, dampaknya terjadi prahara di negara Indonesia pada masa orde lama saat itu.

Baca Juga: Dua Eksekutor Pembunuh Mantan Anggota DPRD Langkat Berada di Gudang Okor Ginting Sebelum Melakukan Eksekusi

Untuk meluruskan pemikiran, perlu dicermati lima prinsip yang dikemukakan oleh Soekarno dalam sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 yaitu: (a) Kebangsaan Indonesia (b) Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan (c) Mufakat, atau demokrasi (d) Kesejahteraan sosial (e) Ketuhanan.

Lima prinsip itu oleh Soekarno disebut dengan istilah Pancasila. Lima prinsip inilah yang menjadi kajian lebih lanjut oleh panitia kecil yang melahirkan piagam Jakarta dan dengan berberapa penyempurnan redaksional dan sistimatikanya yang kemudian difinalisasi menjadi Pancasila sebagaimana yang dikenal sekarang ini, yaitu : (a) Ketuhanan Yang Maha Esa (b) Kemanusiaan yang adil dan beradab (c) Persatuan Indonesia (e) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (d) Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hakikat dari lima prinsip yang dikemukakan oleh Soekarno tentang Pancasila pada dasarnya merupakan personifikasi manusia sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk posesif.

Hal itu dapat dilihat dari prinsip kebangsaan dan Mufakat sebagai citra manusia makhluk sosial, prinsip internasionalisme atau peri kemanusiaan dan prinsip Ketuhanan mencitrakan manusia sebagai mahkluk religius, dan prinsip kesejahteraan sosial mencitrakan manusia sebagai makluk biologis ( posesif ).

Baca Juga: Personil Sat Reskrim Polrestabes Medan Tangkap Terduga Pelaku Cabul, Keluarga Korban: Tahan dan Hukum Berat

Lima prinsip itu menurutnya dapat diperas menjadi tiga prinsip yakni (a) socio-nationalisme, (b) socio democratie, dan (c) Ketuhanan. Ketiga prinsip ini hanya menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius semata. Tiga prinsip itu dapat diperas lagi menjadi satu prinsip, yaitu gotong royong.

Soekarno menerangkan gotong royong dari aspek filsafat moral dan filsafat hukum. Prinsip gotong royong yang dikemukannya itu kelihatannya dipengarui paham utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham pada abad ke-19 yang banyak mempengaruhi pemikiran politik dan hukum.

Faham ini mengajarkan tentang tujuan pemerintah dan tujuan hukum yang semata-mata untuk mencapai kebahagiaan terbesar komunitas atau kebahagiaan masyarakat bukan kesenangan hidup. Faham ini berakar dari pernyataan “aku ada karena kita ada”. Artinya eksistensi individu adalah co-eksistensi dari kehidupan kolektif manusia. Dalam kehidupan bersama itulah individu menjadi berharga dan terkualitaskan.

Prinsip gotong royong menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial dan biologis ( posesif ) semata. Argumen ini dapat dilihat dari ungkapan Soekarno yang menyebutkan gotong royong yaitu paham yang dinamis yang menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe.

Baca Juga: Oblok-oblok Tahu Tempe, Masakan dari Jawa Tengah yang Mampu Menggoyang Lidah Orang Medan

Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binatu bersama, amal semua buat pentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama.

Penjelasan itu jelas-jelas menunjukkan pembahasan gotong royong dari filsafat politik bukan teori politik. Prasyarat prinsip gotong royong yang tidak dapat ditawar-tawar adalah semua unsur masyarakat negara, yaitu Penguasa, pengusaha dan rakyat bersinergi satu sama lainnya dalam satu pilin untuk menggapai kebahagian bersama. Di sini prinsip gotong royong dijadikan tujuan karena mengandung nilai instrinksik, berbeda halnya bila dikaji dari teori politik, prinsip itu dijadikan alat yang mengandung nilai instrumental.

Prinsip gotong royong dari segi bahasa tehnis merupakan kajian teori politik diterjemahkan menjadi pragmatis-materialis. Artinya gotong royong itu sebagai “alat” sebagaimana terlihat diterjemahkan menjadi “kerja, kerja, dan kerja“ oleh Presiden Jokowi. Fokus orientasinya pengejaran materi/ kebutuhan biologis, yang hasil akhirnya melahirkan hedonisme di lingkungan Penguasa dan lingkarannya. Pada tataran ini arti kekuasaan berubah menjadi kekayaan.

Hedonisme itu sendiri sebuah hasrat yang tidak pernah terpuaskan. Hasrat yang demikian itu, menyuburkan perilaku menyimpang sebagaimana terlihat dalam sejarah perpolitikan bangsa Ini. Seseorang demi meraih kekuasaan tidak segan-segan berkomplot melakukan tindakan tidak manusiawi dengan berbagai cara tipu muslihat, kebohongan, curang, transaksional bila perlu nyawa manusia dikorbankan.

Baca Juga: Bikin Iri, Kelima Pemenang Flash Sale Rp1 Shopee Resmi Terima Mobil Agya Seharga Rp1

Penguasa yang memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang demikian itu menjadi penguasa hedonis, menyuburkan perbuatan korupsi baik secara perorangan maupun berjamaah, pamer kekayaan oleh pejabat pemerintahan dan/ atau pejabat politik, penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa untuk kepentingan kelompoknya, melindas dan memporakporandakan kebenaran dan keadilan. Situasi ini melahirkan kerjasama yang liar dalam bentuk kolusi, nepotisme antara penguasa ( pemilik kekuasaan ) dan pengusaha ( memiliki kekuasaan uang ) menjalin erat satu sama lainnya mengejar kepentingan mereka. Hal ini diperparah lagi jika Penguasa sekaligus merangkap sebagai Pengusaha.

Eksplotasi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi diperuntukan untuk kepentingan mereka dengan bertamengkan kepentingan Rakyat. Pada kenyatannya rakyat termarjinalkan. Rakyat tidak lebih pemilik telanjang atas sumber daya alam dan ekonomi. Rakyat punya hak tapi tidak dapat menikmati manfaat dari hak yang dimilikinya.

Pada titik ini, gotong royong bukan lagi sebagai suatu pengabdian diri pada kemanusiaan sebagamana makna sejatinya untuk mencapai kebahagiaan bersama melainkan berubah menjadi kesenangan diri sendiri dan kelompoknya.

 

Pancasila Prinsip Hidup Bangsa Indonesia

 

Paparan di atas dapat dijadikan renungan bagi semua elemen bangsa ini dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni sekarang ini. Pada satu sisi, penerapan gotong royong dari sisi teknis ( alat) sebagaimana disebutkan di atas jauh menyimpang dari makna hakikinya, pada sisi lainya membuktikan Pancasila tidaklah dapat diperas menjadi eka sila.

Baca Juga: Mendongkol, PLN Byar Pet ! Masyarakat Belum Paham Rupanya Sudah Dapat Kompensasi dari Pemadaman Listrik

Perlu ditegaskan prinsip gotong royong itu adalah upaya mencapai keadilan sosial, dan keadilan sosial itu adalah satu bagian dari Pancasila. Jika gotong royong dijadikan acuan maka negara Indonesia dikayuh menjauh dari cita-cita luhur dari Pendiri bangsa Indonesia, dan sekaligus memporakporandakan bangunan politik dan hukum Indonesia citra jati diri bangsa Indonesia yang khas itu.

Lebih ekstrim lagi, jati diri bangsa Indonesia akan menguap menjadi bangsa yang baru yang hidup semata-mata mengejar kesenangan ( kenikmatan ) bukan kebahagiaan hidup. Jika ini terjadi, manusia adalah seonggok angka-angka layaknya suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.

Dalam praktek angka-angka itu selalu dikonversikan sebagai uang; dan perlu diingat, uang dipergunakan tidak pernah cukup selalu bertambah dan bertambah lagi disana keserakahan merajalela dan sikap hedonis tumbuh subur.

Dalam hal itu, fungsi uang yang semula sebagai “alat” berubah menjadi “tujuan”; dengan uang kedaulatan manusia diletakkan pada level terendah. Hidup menjadi bahan dagangan. Demi uang orang tidak segan segan melakukan kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Baca Juga: Pedagang Kaki Lima di Kota Medan Rentan Dipungli Atasnama Organisasi, Pemko Medan Harus Bertanggungjawab

Dalam hal ini prinsip-prinsip Pancasila akan kehilangan sisi kemanusiaan yang sejati alami. Padahal negara Indonesia ( termasuk negara-negara pada umumnya ) lahir dengan tujuannya yang mulia yaitu menjaga, melindungi, menghormati dan memenuhi harkat dan martabat manusia.

Dalam harkat dan martabat manusia terkandung perlindungan terhadap hidup, kebebasan, kesejahteraan dan kehormatan diri sebagai manusia karena ia manusia. Oleh karena itu, semua elemen bangsa dituntut melakukan repleksi kembali makna yang terkandung dalam prinsip dasar negara Indonesia merdeka yaitu Pancasila sebagai personfikasi manusia.

Dan dia merupakan pribadi bangsa. Jadi, manusia Pancasila itu terlihat pada keterpaduan antara intelektualitas dan moratalitasnya. Pintar saja tidaklah cukup tanpa ada moral yang mendampinginya. Jangan berharap kebahagian hidup akan terwujud apabila moralnya hancur lebur.

Akhirnya sebagai penutup tulisan ini, dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila, sudah pada tempatnyalah semua elemen bangsa ini meneguhkan pendirian memperkuat dan memperkokoh Pancasila sebagai dasar negara dengan beranjak dari pemahaman filsafat bukan dari pemahaman pemikiran teori politik.

Baca Juga: Tinggal Sendiri di Gubuk Nek Sarti Akhirnya Dipindahkan ke Panti Jompo, Begini Sikap Anaknya

Hal ini perlu ditegaskan karena Pancasila yang diungkapkan oleh Soekarno merupakan kajian filsafat bukan kajian teori politik. Pancasila meneguhkan eksistensi manusia secara utuh. Oleh karena itu, gotong royong tidak dapat dipahami dan dipraktekkan sebagai perasan Pancasila karena gotong royong hanya berbicara ekonomi ( kebutuhan biologis ) semata, apalagi bila gotong royong yang dipraktekkan dan dipahami akhir-akhir ini dari sisi teori politik semata-mata bukan dalam bentuk aslinya sebagai kajian filsafat sebagaimana yang dikemukakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang disempurnakan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam memperingati hari lahirnya Pancasila sekarang ini, suatu keharusan bagi kita semua untuk memahami dan mempraktekan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa demi terwujudnya penghargaan dan penghormatan sisi kemanusiaan manusia secara utuh.Untuk mencegah penyimpangan penafsiran Pancasila sebagai prinsip negara Indonesia pihak yang berkewenangan secara kelembagaan ada pada Majelis Permusyawartan Rakyat ( MPR). Mengapa demikian? Karena sesungguhnya MPR itu identik dengan BPUPK saat merumuskan dasar negara Indonesia merdeka.

Upaya konkrit untuk itu dapat ditempuh oleh MPR melalui kajian mendalam tentang prinsip Pancasila secara objektif, pikiran jernih dan jujur melalui pendekatan sosiologis-historis, normatif, politik, budaya dan filsafat dalam bingkai kegiatan intelektual yang jujur dan bertanggungjawab.

Hasil kajiannya dijadikan bahan pendidikan formal maupun nonformal terhadap anak bangsa. Tujuannya agar lahir rasa kecintaan kepada negara Indonesia. Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri dari cinta akan timbul niat baik, dari niat baik akan melahirkan perbuatan baik, dan perbuatan baik akan melahirkan kebahagiaan. Dari sanalah diukur karakter bangsa Indonesia, agar hidup menjadi bermakna berdasarkan Pancasila.***

 

 

 

 

 

 

Editor: Dedi Suang


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x